Mitra: Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi
PIC: Prof. Dr. Suratman
Deskripsi
Perkembangan paradigma pengelolaan transmigrasi di Indonesia telah banyak berubah, baik pada era orde lama, orde baru, sampai dengan pasca reformasi. Hal ini ditandai dengan adanya aturan perundangan bidang ketransmigrasian baik pada tahun 1960, tahun 1972, tahun 1997, sampai pada tahun 2009. Jika dilihat secara historis, skema transmigrasi ini juga telah diterapkan pada era kolonial di Indonesia dengan motif untuk mengoptimalkan produksi hasil bumi, penyediaan logistik untuk warga dan kebutuhan perang di Uni Eropa. Pada era pasca reformasi ini, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian mengamanahkan pengelolaan transmigrasi yang dapat menjawab masalah pemerataan pembangunan yang kemudian dapat dikaitkan sebagai media dalam menarik investasi di daerah.
Stigma negatif bahwa transmigrasi berupaya memindahkan penduduk, khususnya penduduk miskin, masih banyak terjadi di masyarakat, khususnya pada daerah tujuan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 masih sulit diterapkan dengan latar belakang stigma ini, terutama saat berhadapan dengan pemerintah daerah tujuan sampai dengan beberapa stakeholder terkait. Stigma itu juga mengakibatkan beberapa penolakan dari penduduk lokal di daerah tujuan yang bersumber dari ketakutan munculnya konflik sosial.
Konsep baru yang disebut sebagai Transpolitan dimunculkan pada era globalisasi dan teknologi informasi saat ini. Konsep ini merupakan hasil konsolidasi berbagai stakeholder ketransmigrasian dalam menanggapi permasalahan lapangan, kebutuhan para transmigran pendatang, kebutuhan transmigran lokal, kebutuhan pemerintah lokal, serta perkembangan isu pembangunan secara global. Ide transpolitan ini yang diharapkan mampu menjadi terobosan dan kepastian arah pembangunan baik bagi daerah tujuan transmigrasi maupun bagi daerah asal transmigran untuk mengirimkan sumber daya manusia sesuai keahlian yang dibutuhkan.
Tantangan kemudian terletak pada cara efektif untuk menciptakan batasan kawasan produksi dalam skema transpolitan, serta untuk memetakan sistem tata rantai produksi agar bisa memunculkan kawasan terpadu. Hal ini yang melatarbelakangi kebutuhan akan proses identifikasi potensi komoditas atau produk pada satuan kawasan tertentu.
Permasalahan lain pada pelaksanaan transmigrasi adalah jenis produk yang masih terbatas pada produk primer. Produk-produk primer tersebut belum memiliki nilai tambah secara ekonomi, sementara saat ini tantangan produksi terletak pada nilai tam bah produk yang akan berpengaruh pada kebutuhan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan telah tersedianya pengolahan berbagai produk komoditas di kawasan trasnmigrasi yang berbasis teknologi di Indonesia. Konteks ini yang kemudian dimaknai sebagai era Transmigrasi 4.0.
Era Transmigrasi 4.0 selanjutnya akan memunculkan kebutuhan akan generator atau penggerak skema produksi dan peningkatan nilai tambah hasil produksi. Keterlibatan multi• stakeholders, yaitu swasta (industri), masyarakat, kalangan akademisi, pemerintah, dan media, diperlukan dalam melaksanakan konsep transpolitan ini. Konteks hubungan antar pihak-pihak terkait tersebut didasarkan pada inovasi dan kewirausahaan melalui kolaborasi atau kerja sama saling menguntungkan dalam sinergi pentahelix.
Perwujudan skema transpolitan tersebut membutuhkan pengembangan pusat kegiatan produksi yang dilengkapi fasilitas untuk pengolahan nilai tam bah produk yang memadai serta berbasis perkembangan teknologi dan informasi. Hal ini menjadi dasar munculnya kegiatan Penyusunan Masterplan Trans-science Technopark. Salah satu pilot project untuk kegiatan ini akan dilaksanakan di Kawasan Transmigrasi Mutiara Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pelaksanaan kegiatan Penyusunan Masterplan Trans-science Technopark terbagi menjadi 2 (dua) tahapan kegiatan. Tahap I merupakan tahap inventarisasi dan analisis potensi kawasan untuk rencana pengembangan Trans-science Technopark yang dilaksanakan pada tahun anggaran 2019, sedangkan tahap II merupakan tahap penyusunan model pengembangan Trans-science Technopark yang akan dilaksanakan pada tahun 2021. Tahap I telah selesai dilaksanakan dan saat ini menginjak Tahap II.
Lokasi perencanaan ini di Kawasan Transmigrasi Mutiara di Ka bu paten Muna, tepatnya di SKP B. Tahap I merencanakan secara konseptual tata fungsi dan tata letak TSTP di SKP B dan KPB, sehingga pada Tahap II akan menekankan pada Perencanaan Kawasan TSTP dan pra-DED Permukiman Transmigrasi di SKP B.
Perencanaan Kawasan TSTP merupakan rencana pengembangan program transmigrasi secara menyeluruh yang terintegrasi dan terpadu dengan sistem infrastruktur permukiman sesuai dengan kebutuhan masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. DED adalah gambar kerja detail dengan ska la, maka pra-DED berarti mempersiapkan desain dan data bagi spesifikasi teknis dan bahan bangunan yang akan digunakan bagi penyusunan DED Bangunan Permukiman Transmigrasi. Proses selanjutnya di luar pra DED adalah penyusunan DED, spesifikasi teknis, Rencana Kerja dan Syarat• Syarat (RKS), dan Rencana Anggaran Biaya (RAB).